Ruangan
berdinding putih lusuh itu sangat sederhana. Namun, di ruangan yang menyimpan
delapan alat tenun tradisional dari kayu dan bambu itulah, wanita-wanita Desa
Siem melestarikan tenun khas Aceh yang terkenal indah. Menurut
Dahlia, salah satu penenun, Desa Siem, Kecamatan Darussalam, –yang dapat
dicapai dalam 30 menit dengan bermobil dari kota Banda Aceh--menjadi
satu-satunya desa yang masih bertahan menghasilkan kain tenun Aceh.
Ketika femina
berkunjung, tampak beberapa wanita menekuni alat tenun masing-masing. Mereka
menenun helai demi helai dari sekitar 2.000 benang. Cerita tentang songket Desa
Siem diawali oleh (alm) Maryamun (Nyak Mu), seorang wanita yang mendedikasikan
sepanjang hidupnya untuk merawat warisan leluhurnya.
Nyak Mu, yang
sudah meninggal 3 tahun lalu, mendirikan usaha tenun songket Aceh sejak tahun
1973. Ia mengajari wanita-wanita yang datang dari Aceh Timur, Lamno, Aceh
Besar, serta Banda Aceh, menenun. Setelah mahir, mereka membuka usaha sendiri
di desa asalnya.
“Mendiang Nyak
Mu bukan hanya pintar membuat motif tradisional, tetapi juga menciptakan motif
baru,” tutur Dahlia. Motif tradisional songket Aceh di antaranya adalah pucuk
rebung, awan siung, dan lidah suing (burung beo). “Tapi, Nyak juga menciptakan
motif, seperti pintu Aceh dan bungong kertah,” imbuh Dahlia, yang juga anak
perempuan Nyak Mu.
Dahlia
mengatakan, bila kini mereka bisa menenun dengan tenang, tidak demikian dengan
Nyak Mu. Ketika konflik Aceh bergolak, Nya Mu kadangkala harus menenun di
tengah bunyi letusan senjata yang membuatnya harus tiarap ke lantai.
“Bukan hanya
itu, para petani ulat sutra juga tidak mau lagi bertanam sehingga bahan baku
untuk dipintal menjadi benang tidak ada lagi,” kata Dahlia. Itulah sebabnya, di
beberapa tempat, para penenun songket Aceh memilih berhenti berproduksi.
Kini, bahan
baku benang bisa didapatkan dengan mudah. Benang sutra misalnya, didatangkan
dari Palembang, sementara benang katun bisa dibeli di pasar terdekat. Untuk
selembar songket sutra, para penenun yang bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul
17.30 itu bisa menyelesaikannya dalam waktu 20 hari. Per lembarnya dihargai
Rp1,2 juta. Untuk bahan katun lebih murah, per lembar antara Rp500.000 –
Rp800.000.
Sumber: http://www.femina.co.id/waktu.senggang/jalanjalan/kisah.di.balik.sehelai.kain/006/003/53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar