Kamis, 12 Juni 2014

Kisah di Balik Sehelai Kain

Ruangan berdinding putih lusuh itu sangat sederhana. Namun, di ruangan yang menyimpan delapan alat tenun tradisional dari kayu dan bambu itulah, wanita-wanita Desa Siem melestarikan tenun khas Aceh yang terkenal indah. Menurut Dahlia, salah satu penenun, Desa Siem, Kecamatan Darussalam, –yang dapat dicapai dalam 30 menit dengan bermobil dari kota Banda Aceh--menjadi satu-satunya desa yang masih bertahan menghasilkan kain tenun Aceh.

Ketika femina berkunjung, tampak beberapa wanita menekuni alat tenun masing-masing. Mereka menenun helai demi helai dari sekitar 2.000 benang. Cerita tentang songket Desa Siem diawali oleh (alm) Maryamun (Nyak Mu), seorang wanita yang mendedikasikan sepanjang hidupnya untuk merawat warisan leluhurnya.

Nyak Mu, yang sudah meninggal 3 tahun lalu, mendirikan usaha tenun songket Aceh sejak tahun 1973. Ia mengajari wanita-wanita yang datang dari Aceh Timur, Lamno, Aceh Besar, serta Banda Aceh, menenun. Setelah mahir, mereka membuka usaha sendiri di desa asalnya.




“Mendiang Nyak Mu bukan hanya pintar membuat motif tradisional, tetapi juga menciptakan motif baru,” tutur Dahlia. Motif tradisional songket Aceh di antaranya adalah pucuk rebung, awan siung, dan lidah suing (burung beo). “Tapi, Nyak juga menciptakan motif, seperti pintu Aceh dan bungong kertah,” imbuh Dahlia, yang juga anak perempuan Nyak Mu.

Dahlia mengatakan, bila kini mereka bisa menenun dengan tenang, tidak demikian dengan Nyak Mu. Ketika konflik Aceh bergolak, Nya Mu kadangkala harus menenun di tengah bunyi letusan senjata yang membuatnya harus tiarap ke lantai.

“Bukan hanya itu, para petani ulat sutra juga tidak mau lagi bertanam sehingga bahan baku untuk dipintal menjadi benang tidak ada lagi,” kata Dahlia. Itulah sebabnya, di beberapa tempat, para penenun songket Aceh memilih berhenti berproduksi.

Kini, bahan baku benang bisa didapatkan dengan mudah. Benang sutra misalnya, didatangkan dari Palembang, sementara benang katun bisa dibeli di pasar terdekat. Untuk selembar songket sutra, para penenun yang bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 17.30 itu bisa menyelesaikannya dalam waktu 20 hari. Per lembarnya dihargai Rp1,2 juta. Untuk bahan katun lebih murah, per lembar antara Rp500.000 – Rp800.000.

Menurut Dahlia, kini tidak banyak lagi wanita Siem yang mau menenun. Dahlia menghitung, hanya tinggal 9 orang saja. Maklum, ongkos menenun juga tidak terlampau besar, sekitar Rp175.000 per lembar. “Saya menenun sebagai tambah-tambahan saja karena penghasilan utama saya dari berjualan kue di warung,” tutur Khairiah (30), tersenyum. Tak hanya minimnya minat, satu hal yang disayangkan Dahlia adalah belum paripurnanya dia menimba ilmu membuat motif dari ibunya. Ketika Nyak Mu berpulang, masih banyak motif yang belum sempat ia pelajari.


Sumber: http://www.femina.co.id/waktu.senggang/jalanjalan/kisah.di.balik.sehelai.kain/006/003/53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar