Kamis, 12 Juni 2014

Nyak Mu, Menjaga Tradisi Tenun Songket Aceh

Oleh : Ahmad Arif

Keseharian Maryamun (70) memang tak pernah jauh dari selembar kain. Dari tangan perempuan tua itu telah terjaga sebuah tradisi Aceh. Melewati empat periode peperangan, yang disusul bencana tsunami. Perempuan itu telah menjaga dan mewariskan sebuah tradisi penciptaan tenun songket Aceh kepada generasi yang lebih muda.

Sejak mendirikan usaha tenun songket Aceh pada tahun 1973, Maryamun atau biasa dipanggil Nyak Mu—nyak adalah panggilan di Aceh untuk perempuan tua—telah menjadi guru bagi ratusan perempuan Aceh yang datang dari Aceh Timur, Lamno, Aceh Besar, serta Banda Aceh. Mereka berguru ke Nyak Mu di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, dan setelah mahir membuka usaha sendiri di desa asalnya.

Nyak Mu tak hanya fasih meniru motif tradisional, tetapi juga mahir menciptakan motif baru. Puluhan motif baru telah diciptakannya, di antaranya pintu Aceh dan bungong kertah. Motif-motif tradisional dan ciptaan Nyak Mu itu kemudian dibukukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh tahun 1992.

Di era 1980-an hingga awal 1990-an, karya Nyak Mu dijual dan dipamerkan di Jakarta, Bali, hingga Sri Langka, Singapura, dan Malaysia. Di sejumlah tempat itu, Nyak Mu ikut berpameran atau mendemonstrasikan keahliannya membuat songket Aceh. Atas usahanya, pada tahun 1991, Nyak Mu mendapat penghargaan upakarti.



Kain pusaka

Ditemui suatu siang di kolong rumahnya, sebuah rumah panggung tradisional Aceh dari kayu, Nyak Mu kelihatan gembira. Menurut dia, sejak beberapa tahun terakhir, tak ada lagi orang luar yang datang ke rumahnya. Tak heran karena Desa Siem, merupakan salah satu kawasan panas di Aceh selama konflik, dan seakan tertutup bagi orang luar.

Nyak Mu kemudian mengajak ke sebuah bangunan di samping rumahnya. Lima perempuan paruh baya tengah menenun kain warna-warni di ruang berdinding kayu itu, salah satunya Dahlia (45), anak perempuan satu-satunya dari lima anak Nyak Mu. Mereka menjalin benang emas mengilap dengan kain berwarna merah dan kuning, mencipta pola-pola organis yang rumit. "Kami hanya menjiplak motif yang diajarkan Mak. Belum bisa membuat motif sendiri," kata Dahlia.

Nyak Mu mengajarkan motif tradisional Aceh melalui selembar kain pusaka, warisan neneknya, almarhumah Naimah atau biasa dipanggil Nyak Naim. Selembar kain berwarna coklat tanah berukuran 50 x 50 cm dan sudah robek ujungnya itu berisi motif-motif tradisional Aceh yang rata-rata diadopsi dari bunga-bunga dan kaligrafi Arab. Sedikitnya, 25 motif tradisional Aceh ditenun dengan indah di selembar kain sutra yang telah berusia lebih dari 200 tahun itu.

"Dulu tak ada buku. Nenek mewariskan kain ini sebagai pengganti buku. Pesannya, kain ini harus terus diwariskan untuk anak cucu agar tenun songket Aceh tetap lestari. Sudah ada yang menawar jutaan untuk membelinya, tetapi ini tak dijual," kenang nenek 15 cucu ini.

Di samping berisi kumpulan motif tersebut, Nyak Mu juga menyimpan kerudung Cut Nyak Dien, sebuah kerudung hitam dengan salah satu motifnya bertuliskan Lailahaillallah serta dua kain songket tua lainnya. "Ini bukan kerudung milik Cut Nyak Dien, tetapi motif ini biasa dipakai beliau sehingga diberi nama kerudung Cut Nyak Dien," jelas Nyak Mu, yang mendapat keahlian menenun dari neneknya.

Menurut Nyak Mu, kain-kain tua itu menggunakan pewarna alami, dengan akar-akaran, kulit batang kayu, dedaunan, dan lumpur.

Menenun dalam perang

Bukan hanya pewarna, dulu hampir semua bahan untuk menenun dibuat sendiri. Nyak Mu masih ingat, neneknya memiliki peternakan ulat sutra sendiri dan memintal sendiri benang sutra dari kepompong. Orang- orang membeli benang dari mereka, bahkan konon, benang sutra ini dijual hingga ke India dan Arab. "Tanpa bahan dari luar, kami dulu bisa bertahan. Sekarang, semuanya tergantung dari luar, benang kami beli dari China dan India," jelasnya.

Di mata Nyak Mu, kondisi di Aceh memang berubah seiring dengan laju zaman. Hanya satu yang tetap melekat di Aceh, yaitu perang. "Dari dulu di Aceh selalu perang. Entah kenapa. Sekarang kami dengar sudah damai, semoga tetap seperti ini, damai terus," kata Nyak Mu.

Bagi Nyak Mu, damai berarti bisa menenun kain songket dengan tenang. Masih jelas terbayang di benak Nyak Mu, hari- hari ketika konflik masih membelenggu Aceh. Acapkali, saat menenun bersama pekerjanya terjadi kontak senjata. "Semua tiarap di lantai, berdoa agar tak terkena tembakan," kenang dia.

Kampung Siem memang tak terjangkau air laut yang marah ketika tsunami melanda Aceh, tetapi showroom anaknya di Kampung Laksana diterjang air. Seluruh barang, kain, dan pewarna senilai sekitar Rp 50 juta musnah.

Musibah tak menghentikan langkahnya. Perempuan yang kenyang dengan perang itu kembali bangkit. Kini, di rumahnya, alat tenun Nyak Mu kembali berderak. Sebuah gedung tua yang lain, dengan sejumlah alat tenun bukan mesin yang menjadi saksi saat kejayaan usaha tenun songket di masa lalu, masih dirawatnya. Pada masa kejayaannya, Nyak Mu memiliki 60 karyawan tetap.

Nyak Mu masih sering membersihkan gudang tua itu sambil berharap suatu saat para pekerja kembali datang. Harapan itu kian terpancar ketika damai menjelang di Aceh.

Sumber : Kompas, Jumat, 9 Juni 2006


Disadur dari: http://bukan-tokohindonesia.blogspot.com/2009/06/maryamun-nyak-mu-menjaga-tradisi-tenun.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar