Memasuki Desa Siem di
Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar, terlihat suasana kampung yang tenang
layaknya sebuah perkampungan yang jarang dikunjungi oleh pendatang. Ruas jalan
berlubang di sana sini mulai dari persimpangan Tungkop hingga ke tempat tujuan.
Membuat perjalanan menjadi sedikit agak membosankan bahkan melelahkan.
Namun siapa sangka,
ratusan tahun silam di desa ini terdapat sebuah peternakan dan pengembang
biakan kepompong yang menghasilkan benang sutera dan hasilnya dijual ke negara
lain.
Di ujung gang yang
tertulis Lorong Tenun Songket, tinggal seorang wanita yang pada masa kejayaan
kerajinan tersebut adalah cucu dari peternak sekaligus ulat sutera sekaligus
pemilik usaha tenun songket.
Tidak banyak yang tahu
nama asli pemilik tenun songket tersebut namun apabila ditanya dimana rumah
Nyak Mu maka tidak seorang pun di Desa Siem yang menggelengkan kepala dalam
arti tidak tahu.
Rumah panggung bergaya khas Aceh dengan pintu pagar terbuat dari besi terlihat agak lengang. Sebuah spanduk masih terpampang di atas gerbang bertuliskan pelatihan yang dilaksanakan oleh Satker BRR Life Skill dan ASEPHI.
Rumah panggung bergaya khas Aceh dengan pintu pagar terbuat dari besi terlihat agak lengang. Sebuah spanduk masih terpampang di atas gerbang bertuliskan pelatihan yang dilaksanakan oleh Satker BRR Life Skill dan ASEPHI.
Mendengar suara pintu
besi dibuka, seorang wanita paruh baya keluar dari rumah yang terletak di
samping kanan rumah induk. Dari celah-celah jeruji terbuat dari papan nampak
berapa orang wanita asyik memasukkan benang emas dicelah-celah benang sutera
yang akan ditenun menjadi kain songket.
Setelah mengemukakan
maksud dan tujuan kedatangan AER, wanita yang ternyata puteri bungsu Nyak Mu
langsung mengajak masuk ke rumah utama. Beberapa saat muncul seorang
wanita dengan sisa kecantikan yang dimiliki mengulurkan tangan sambil
tersenyum, dia adalah Hj.Maryamu atau yang dikenal dengan panggilan Nyak Mu.
Tanpa basa basi,
didampingi Dahlia (45) puteri semata wayang wanita yang sudah banyak makan asam
garam dalam industri kerajinan ini menceritakan awal berdirinya usaha tenun
songket di Desa Siem seolah ia ingin berbagi kisah tentang kejayaan tenun
songket Aceh dahulu.
Waktu berjalan bak
roda yang terus berputar, terkadang di atas terkadang pula di bawah. Setelah
mahir maka usaha yang semula dijalankan oleh ibunya akhirnya ia lanjutkan.
Dari sebatang kayu
pemintal dan benang emas yang dijalin pada helai sutera, lahir pula
generasi-generasi penerus yang diharapkan mampu meneruskan apa yang
dimilikinya.
Sambil duduk di sudut
ruangan, wanita kelahiran 70 tahun silam ini mengatakan kalau masa kejayaannya
berawal pada saat Aceh masih dipimpin oleh Gubernur Nyak Adam Kamil. Usaha
tenunnya sendiri dimulai tahun 1971 atas binaan Ibu Hayyatun Nufus. Beliau
adalah Kepala Dinas Perindustrian Aceh pada saat itu.
Bekerja tanpa pamrih,
tidak pernah terpikir dibenaknya untuk membanggakan kebolehan yang
ada. Penghargaan Upakarti dari pemerintah pusat diberikan oleh Presiden
Soeharto pada tahun 1991 atas keberhasilannya mengembangkan kelompok penenun
songket. Tak ada rasa bangga yang berlebihan karena dengan kepolosan
pikirannya Nyak Mu hanya ingin menyambung hidup dari usaha kerajinan yang ia
rintis.
Selain memintal,
wanita yang menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa sehari-sehari ini ternyata
pandai menciptakan kreatifitas terhadap motif-motif yang akan ia pilih. Salah
satu motif ciptaannya adalah motif Bungong Kertas.
Keahlian yang
diturunkan almarhumah Naimah neneknya, atau dulu dikenal dengan panggilan Nyak
Na’im tidak pernah dilupakan.
Benda pusaka berupa
kain songket yang sudah usang berwarna coklat berukuran 50×50 berusia lebih
kurang seratus tahun itu diperlihatkan.
Sembari menjelaskan
bahwa dari kain inilah ide-ide itu pertama kali muncul. Pada dasar kain
terlihat berbagai motif yang disulam rapi yang tidak dapat dihitung dengan jari
jumlahnya.
Menurut Dahlia,
songket tua berwarna coklat itu merupakan pedoman dalam bekerja karena dulu
tidak ada buku sehingga nenek ewariskannya sebagai pengganti buku.
Pada tahun 1992,
motif-motif yang sudah diberi nama itu dibukukan oleh Dinas Perindustrian
Propinsi Aceh dengan judul: “Aneka Songket Motif Aceh” dimana nara sumbernya
adalah Nyak Mu.
Motif-motif tersebut
diantaranya: motif Pucok Aron, Phacangguk, Bungong Peut Saga, Bungong Gasing,
Bungong Rante Lhe, Timpeung, Mata Uro, Bungong Kala, Pucok Meuriya, Bungong
Reudeup, dan banyak lagi jenis lainnya.
Pasang Surut Usaha
Tenun Songket
Banyak suka duka yang
dilalui dalam menjalankan usaha tenun songket, berawal dari kriss smoneter,
konflik yang terjadi antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka hingga
bencana tsunami.
Saat krisis moneter,
banyak petenun songket yang menghentikan usahanya karena harga bahan baku
terlalu tinggi sehingga sulit untuk mematok harga. Desa yang dulunya
dikenal sebagai lumbung songket dimana terdapat 150 bahkan lebih para pemilik
usaha tenunan akhirnya satu persatu gulung tikar.
Tidak hanya “krismon”
yang mematikan usaha kerajinan songket Aceh, konflik berkepanjangan membuat
pembeli enggan datang ke Desa Siem karena dianggap rawan. Cobaan
bertubi-tubi terus menimpa, diantara peristiwa pahit yang masih membekas dalam
pikiran Nyak Mu ketika bahan baku pesanannys dari Palembang terkena tembakan
saat dilakukan razia di jalan. Uliran benang rusak dan tidak bisa
digunakan lagi, mengakibatkan ia menderita kerugian yang tidak sedikit.
Belum habis masa
konflik, terjadi tsunami yang meluluhlantakkan kota Banda Aceh dan sekitarnya
dan merusak seluruh sendi kehidupan. Meski Desa Siem jauh dari amukan
tsunami, tapi bahan baku yang digunakan untuk tenunan disimpan di rumah salah
seorang puteranya di Kampung Laksana habis tersapu air.
Padahal waktu itu ada
pembeli yang memesan songket sebanyak seratus helai dan baru dipanjar sebesar
lima juta rupiah. Bahannya masih disimpan di Kampung Laksana dan tidak sempat
diselamatkan. “Kamoe rugoe na limong ploh juta,”tuturnya dalam
bahasa Aceh sambil merunduk sedih. Kerugian sekitar lima puluh juta tidak
membuat ia putus asa kaena menurutnya rejeki itu datang dari Allah.
Hanya sesaat menahan
sedih, ada rasa bangga tercermin di wajah wanita yang sejak lahir hingga usia
senja ini lebih memilih menetap di Desa kelahirannya. Ketika ditanya tentang
murid-murid dulu apakah ada yang mengikuti jejak gurunya. Dengan wajah
berseri-seri Nyak Mu menyebut satu persatu murid yang berhasil seperti Asma dan
Faridah. Kedua muridnya ini sudah membuka usaha sendiri di Lamno Kabupaten Aceh
Jaya. Juga Jasmani yang menyusul membuka usaha di Desa Miruktaman Lambaro.
Sudah tidak terhitung
berapa banyak pelatihan yang diadakan di tempat ussahan milik Nyak Mu. Bahkan
para peserta banyak yang berasal dari daerah lain seperti Aceh Barat, Montasik,
Simpang Ulim, dan kabupaten lainnya di Aceh.
Atas pertimbangan usia
dan kondisi kesehatan, sekarang Nyakmu hanya mengawasi saja apa yang dikerjakan
pegawainya namun bukan berarti ia lepas tangan. Setiap saat Nyak Mu datang dan
memeriksa hasil kerjaan mereka agar motif yang dibuat tidak lari dari keinginN
si pemesan.
Karya-karya Nyak Mu
sudah pernah dipamerkn di berbagai pameran songket pada era 80an-90an seperti
di Bali, Jakarta bahkan di luar Indonesia yaitu Malaysia, Singapura, Srilangka
dan lain-lain.
Keistimewaan dari
usaha miliknya, songket buatan Nyak Mu tidak dipasarkan di toko atau tempat
benda-benda souvenir. Pembeli sudah tahu dan biasanya datang sendiri ke Desa
Siem untuk membeli dengan cara memesan terlebih dahulu. Harga songket yang
dijual bervariasi sesuai motif yang diinginkan namun harga standardnya adalah
Rp.1000.000 an. Nyak Mu mengakui songket yang dijualnya memang mahal tetapi
semuanya dikarenakan bahan baku untuk pembuatan songket harus didatangkan dari
luar. Uniknya lagi, motif yang dibuat bukan dilekatkan pada kain tetapi benag
emas dijalin satu persatu pada helai benang sutera.
Pembuatan songket
memakan waktu yang lumayan lama, bisa sembilan atau sepuluh hari bila
dikerjakan terus menerus. Untuk menggulung benang sutera yang akan ditenun
waktuny adalah dua puluh hari. Jadi satu kain songket memakan waktu yang cukup
panjang yaitu satu bulan.
Segudang pengalaman
dibarengi pengalaman dan jasa-jasanya kepada negeri seharusnya membawa Nyak Mu
kepada kehidupan yang jauh lebih mewah dibanding sekarang. Namun Nyak Mu
hanyalah wanita biasa yang hanya memberikan emas tanpa berharap intan. Akankah
seratus tahun mendatang masih ada orang yang akan berbagi kisah tentang
kejayaan songket Aceh…?***
Disadur dari: http://iloveaceh.org/2013/02/12/sejarah-kejayaan-tenun-songket-aceh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar